
Jenderal Soedirman (2015)
Film Bloggers Review: ★★3/4 (5 reviews)
SYNOPSIS
Belanda menyatakan secara sepihak sudah tidak terikat dengan perjanjian Renville, sekaligus menyatakan penghentian gencatan senjata. Pada tanggal 19 Desember 1948, Jenderal Simons Spoor Panglima Tentara Belanda memimpin Agresi militer ke II menyerang Yogyakarta yang saat itu menjadi ibukota Republik..
Soekarno-Hatta ditangkap dan diasingkan ke Pulau Bangka. Jenderal Soedirman yang sedang didera sakit berat melakukan perjalanan ke arah selatan dan memimpin perang gerilya selama tujuh bulan.
Belanda menyatakan Indonesia sudah tidak ada. Dari kedalaman hutan, Jenderal Soedirman menyiarkan bahwa Republik Indonesia masih ada, kokoh berdiri bersama Tentara Nasionalnya yang kuat.
Soedirman membuat Jawa menjadi medan perang gerilya yang luas, membuat Belanda kehabisan logistik dan waktu.
Kemanunggalan TNI dan rakyat lah akhirya memenangkan perang. Dengan ditanda tangani Perjanjian Roem-Royen, Kerajaan Belanda mengakui kedaulatan RI seutuhnya.
General Information
Director: Viva Westi
Scriptwriter: TB Deddy Safiudin, Viva Westi
Cast: Adipati Dolken, Ibnu Jamil, Surawan Prihatnolo KA, Abdus Samad, Anto Galon, Angga Riyadi
Running Time: 126 minutes
Release Date: 27 August 2015
Full Cast and Crew
Not available.
CRITICS REVIEW
NA. Rating: ★★1/2
NA. Rating: ★★★
NA. Rating: ★★★1/2
Ketimbang mengarahkan fokusnya ke sisi paling menarik dalam pilihan-pilihan gerilya dibalik taktik perang yang membuat sosok Soedirman menjadi Soedirman yang kita kenang hingga sekarang, Deddy dan Westi sayangnya lebih memilih penceritaan multikarakter yang malah menyerempet ke komedi komikal ala pertunjukan ketoprak, padahal juga bukan dimaksudkan sebagai parabel buat memperkuat penokohan karakter sentralnya. Di tengah tokoh-tokoh nyata pendukung pasukannya seperti Nolly/Tjokropranolo yang seakan diinterpretasikan seflamboyan nama panggilannya oleh Ibnu Jamil, Suparjo Rustam (Surawan Prihatnolo K.A.), Hanum Faeni (Ahmadulloh) dan Utoyo Kolopaking (Abdus Samad), skrip itu malah sibuk menampilkan bukan lagi hanya satu-dua karakter komikal. Rating: ★★★
Tak bisa banyak menghadirkan adegan perang-perangan bukan berarti Jenderal Soedirman duduk diam pasrah tak melakukan apa-apa, batasan bujet kemudian diakali dengan lebih banyak mengisi durasi dengan bercerita. Porsi drama tentu nantinya akan terlihat mendominasi ketimbang bagian peperangan yang hanya segelintir itu. Disajikan untuk tujuan hiburan, Jenderal Soedirman tidak melulu menceritakan sejarah dan tampil serius, tapi juga sesekali mampu menghadirkan kelucuan-kelucuan di tengah hiruk pikuk perang gerilya. Rating: ★★★
Jenderal Soedirman disajikan dengan nilai produksi yang tinggi dan penggarapan teknis yang bagus—dari kostum, tata artistik, sinematografi, tata suara, hingga visual effects, yang mungkin setara dengan film-film berlatar sejarah Indonesia yang telah ada. Namun, Jenderal Soedirman punya satu nilai lebih, yaitu sebagai film sejarah Indonesia era milenium yang konsepnya paling jelas dan konsisten, terlepas dari beberapa kelemahan dalam beberapa titik penuturannya. Film ini juga boleh dibilang paling seimbang antara menyampaikan pengetahuan konteks sejarah, dan unsur hiburannya yang mudah disantap oleh kalangan lebih luas, tidak hanya bagi pemerhati film sejarah. Rating: ★★★1/2
Viva tak bertele-tele dan pretensius; naskah yang ia tulis bareng Tubagus Deddy (Mursala) padat, penuh elemen kejut, rancak dari awal hingga akhir. Ada elemen thriller di awal, lalu ada komedi, drama, aksi, dan tragedi. Komplet. Viva mengeksekusi film ini dengan cara yang cekatan, membuat film ini tampil sinematis. Walaupun masih ada kekurangan pada beberapa bagian efek khusus, namun tak sampai mengganggu tampilan film ini secara keseluruhan. Rating: NA
Jenderal Soedirman sejak awal memang tidak menempatkan diri sebagai biografi “utuh.” Namun, sepenggal kisah yang ditampilkan pun rasanya, tidak untuh sepenggal.
Padahal, elemen-elemen teknis sudah sangat mendukung. Efek visualnya tergarap lumayan rapi. Adegan aksi dan cara film ini menjaga atensi audiens layak dipuji. Begitu pun tata artistik, kostum, dan suara. Mungkin ketidakutuhan sepenggal cerita dari Viva Westy memberi kesempatan bagi sienas lain untuk memfilmkan Soedirman di kelak kemudian hari. Rating: ★★★1/2
BLOGGERS REVIEW
Untuk sebuah film yang menggunakan namanya, Jenderal Soedirman sayangnya terasa kurang memiliki Jenderal Soedirman pada alur ceritanya. Adipati Dolken pulls on his best performance yet as Jenderal Soedirman. Sadly, he has little (zero?) charisma to lead a movie. Rating: ★★★
Mbok yo kalau bikin film jangan egois-egois amat. Ndak semua yang nonton kudu tau kontekstual tanpa dijelasin/narasikan. Kalaupun fokusnya di perang Gerilya kenapa harus mengambil judul nama bukan peristiwanya. And then again, Soedirman diperankan oleh Dolken dengan tipe a grumpy old man who act like general. And the idea of giving Hatta to Nugie instead of Lukman Sardi who also joined the movie was wrong. Rating: ★1/2
Jenderal Soedirman punya banyak momen istimewa yang bisa membuat kita tertegun dan terharu. Penghargaannya terhadap setiap pejuang patut diapresiasi. Tutur ceritanya mungkin belum berhasil menunjukkan betapa hebatnya sosok Soedirman dan gerilyanya. Pun dengan castnya yang patut dipertanyakan. Tapi Jenderal Soedirman jelas bukan film yang buruk. Ia juga menjadi doa untuk Indonesia hari ini, 70 tahun sejak masanya, benar-benar merdeka seutuhnya. Rating: ★★★
Berhasil disajikan sebagai film biopik yang lezat buat disantap, Jenderal Soedirman menjadi ajang bagi Adipati Dolken tunjukkan akting terbaiknya. Rating: ★★★1/2
Mengingat Jenderal Soedirman memimpin gerilyawan dalam kondisi sakit, maka tidak banyak pula sepak terjang secara langsung yang membuat penonton kagum pada sosoknya. Secara visual, penonton bakal lebih sering disajikan adegan kucing-kucingan dengan Belanda yang ternyata cukup mendebarkan, dan beberapa adegan konfrontasi terbuka. Beberapa jokes juga diselipkan, namun bukannya membantu menambah unsur hiburan, justru lebih terasa mengganggu di tengah-tengah nuansa perang yang menegangkan. Rating: ★★★1/2
Overall suka dgn keseluruhan film, namun merasa amat sangat terganggu dengan adegan terakhir dimana Presiden Soekarno meminta foto kedua kali dengan Jend. Soedirman karena fotografernya belum mengambil foto mereka yang sedang bersalaman pertama kali.
Menurut saya adegan tersebut mengurangi inti dari perjuangan Jend. Soedirman dan Presiden Soekarno.